
Seorang pembantu rumah tangga di depan rumah, Mbok Semi, pulang ke kampung halamannya di desa Kaliangkrik, Magelang. Menurut cerita, ia ingin menanyakan apakah putri perempuannya bersedia menikahi seorang tukang bangunan di Kota Yogyakarta. Mbok Semi bekerja sebagai pembantu rumah tangga, dan karena majikannya baru saja melakukan renovasi rumah, salah satu tukang tersebut dianggap layak menjadi calon menantu yang ideal. Mengingat putri perempuannya hanya lulusan SMP, pekerjaannya sehari-hari adalah membantu mengurus rumah dan sawah di desa, sudah saatnya ia berkeluarga.
Bu Semi menceritakan kepada Ibu Negara Omah Ampiran bahwa jika ia ingin memberi nasihat, berbicara dengan serius, atau menyelesaikan masalah yang dihadapi keluarga, ia selalu memulai dengan mengajak anaknya makan.
"Saya biarkan perut anak saya kenyang terlebih dahulu, agar lebih mudah diajak berbicara," ujar Mbok Semi.
Meskipun (kemungkinan besar) Ibu Semi hanya memiliki meja makan yang biasa saja, gambaran tersebut menunjukkan bahwa sebagai seorang warga desa di kaki Gunung Merapi, Ibu Semi tetap melakukan "diplomasi (di) meja makan" untuk berbicara serius dengan putrinya maupun keluarganya.
Kondisi yang hampir serupa pernah saya alami ketika masih kecil. Saat itu keluarga tinggal di daerah pesisir laut dan pertemuan beberapa sungai, yaitu Kuala Tungkal. Kota kabupaten yang terletak di pantai timur Provinsi Jambi ini pada awal tahun 1970-an hanya bisa dicapai melalui transportasi laut. Berbeda dengan sekarang, kini dapat ditempuh melalui jalan darat dalam waktu sekitar tiga jam saja.
Dulunya, menurut ingatanku, perjalanan menggunakan kapal laut "Selat Jaya" dari Jambi ke Kuala Tungkal membutuhkan waktu satu malam. Sementara itu, perjalanan dari Kuala Tungkal ke Jambi memakan waktu sehari semalam dengan melewati makam Orang Kayo Hitam yang dianggap sakral di tepi sungai Batanghari. Hal ini terjadi karena ketika berangkat dari Jambi, kapal mengikuti aliran sungai Batanghari, sedangkan jika berangkat dari Kuala Tungkal, kapal harus melawan arusnya.
Bapak, seorang pegawai negeri di Kantor Agraria, hanya mampu menyewa rumah yang memiliki lantai dan dinding dari kayu/papan, dengan atap dari daun nipah. Rumah tersebut terdiri dari dua kamar tidur, ruang tamu, ruang keluarga, dapur, dan kamar mandi.
Di ruang tamu terdapat meja makan yang ditempati enam kursi. Setiap kali tiba saat sarapan atau makan malam, seluruh anggota keluarga berkumpul di sekitar meja makan tersebut. Kegiatan makan tidak akan dimulai sebelum semua anggota keluarga hadir, yaitu ayah, ibu, kakak, saya, dan adik.
Jika ayah belum duduk di tempat duduknya, semua orang menunggu dengan penuh perhatian sambil bercerita tentang berbagai hal, baik yang terjadi di lingkungan teman-teman bermain maupun di sekolah.
Dari orang tua, meja makan digunakan sebagai "ruang" untuk berkumpulnya seluruh anggota keluarga secara lengkap. Saat sarapan pagi, ayah dan ibu sesekali menanyakan tugas dari guru, perilaku teman-teman di sekolah, serta apa saja yang diajarkan oleh guru. Kami tiga bersaudara bersekolah di SD Negeri 5 Kuala Tungkal.
Begitu pula kami menceritakan tentang kelucuan Udin, kecerobohan Fahmi, serta sifat baik Kipli, tetangga sekompleks. Ayah dan ibu hanya mendengarkan dan sesekali memberikan respons. Terkadang ibu bercerita tentang kiriman kue dari tetangga atau pengalaman berbelanja di pasar. Sementara ayah sesekali mengajukan pertanyaan dan memberikan komentar.
Seringkali percakapan di meja makan terasa ringan dan sepele, namun justru dalam kondisi demikian keakraban antar anggota keluarga terbentuk secara alami.
Siapa pun diperbolehkan untuk mengekspresikan diri, termasuk menyampaikan keluhan yang sulit disampaikan di luar waktu makan. Suasana makan malam bisa lebih rileks karena tidak ada batasan waktu, sehingga terasa lebih akrab dalam berbagi kisah.
Demikian, meja makan menggambarkan keakraban, saling berbagi kisah dalam keluarga. Kegiatan di meja makan baru dimulai ketika semua anggota telah berkumpul di sekitar meja makan dan siap menikmati masakan yang disajikan ibu.
Saat bersekolah di SMA dan pindah ke Yogyakarta, peran meja makan di rumah orang tua berubah dari hanya tempat bercerita menjadi ruang untuk berbagi tanggung jawab serta menyelesaikan masalah.
Perbincangan di meja makan kini tidak lagi mengandung cerita yang ringan, tetapi berubah menjadi tempat musyawarah yang tidak resmi. Bagaimana ayah dan ibu membagi tugas kepada ketiga anak laki-lakinya.
Anak sulung bertanggung jawab pergi ke kantor PLN untuk melakukan pembayaran tagihan listrik, serta ke PDAM untuk membayar biaya air. Anak kedua mengelola pembayaran langganan koran dan pajak kendaraan. Sementara itu, anak ketiga bertanggung jawab atas kebersihan rumah dan halaman.
Banyak isu menjadi topik pembicaraan saat duduk di meja makan. Tentu saja dalam suasana yang terbuka dan konstruktif, sehingga anak-anak merasa didengar serta dihargai pendapatnya. Di sisi lain, orang tua dapat memberikan petunjuk dengan lebih penuh empati. Bahkan, perselisihan kecil dalam keluarga bisa lebih mudah diselesaikan ketika dibahas di meja makan.
Penghapusan Fungsi Meja Makan di Rumah
Sejak SMA dan kuliah, saya memiliki impian bahwa jika memiliki rumah, harus ada meja makan sebagai ruang kecil untuk berbagi kehangatan keluarga, bertukar cerita, mempererat ikatan, serta menyelesaikan masalah dalam lingkup rumah tangga.
Setelah menyelesaikan pendidikan perguruan tinggi, bekerja, menikah dengan Ibu Negara Omah Ampiran, dan memiliki empat anak, ternyata kami hanya mampu membeli rumah dengan sistem kredit yang luas bangunannya enam puluh meter persegi.
Keinginan memiliki meja makan tetap menjadi kenyataan. Awalnya memang berfungsi sebagai tempat berkumpul keluarga, berbagi kehangatan dan cerita. Namun seiring berjalannya waktu, fungsi meja makan berubah menjadi perabot untuk meletakkan toples, tumpukan piring baru, gelas, oven, loyang, serta berbagai alat dapur lainnya.
Hal ini terjadi karena ukuran rumah yang tidak terlalu luas, tanpa adanya ruang penyimpanan, dan kebutuhan barang yang terus meningkat. Akibatnya, meja makan menjadi tempat yang mudah dipilih untuk menumpuk berbagai macam barang.
Akhirnya meja makan hanya mampu digunakan untuk tiga orang—kami sebuah keluarga yang terdiri dari enam orang. Mulailah "ritual" makan bersama berpindah ke berbagai tempat. Kegiatan makan dilakukan sambil menonton televisi atau membaca koran di ruang tamu, sedangkan anak-anak makan di kamar tidur dengan alasan sekaligus menyelesaikan tugas sekolah....
Saat masa kuliah, kemudian bekerja di luar kota (Jakarta dan Malang), meja makan di rumah benar-benar kehilangan peran pentingnya sebagai pusat kehangatan keluarga. Jarak waktu berkumpul keluarga semakin membesar.
Setelah saya pensiun, kehangatan di meja makan hanya bisa dirasakan ketika anak-anak pulang ke Yogyakarta. Kehangatan itu tercipta di meja makan malam, kafe, atau rumah makan, bukan di meja makan di rumah. Namun, kondisi ini setidaknya menunjukkan bahwa meskipun sibuk, selalu ada ruang untuk kembali duduk berbagi cerita di meja makan.
Bagi saya, peran meja makan, meskipun berada di luar rumah, tetap menjadi tempat kehangatan dan penghibur rasa rindu keluarga. Yang dibutuhkan hanyalah komitmen untuk menyisihkan waktu bersama, saling terbuka dan mendengarkan. Dengan demikian, meja makan tidak akan pernah kehilangan maknanya selama anggota keluarga masih bersedia duduk berdampingan di sekitarnya. (*)