Industri Jaga Pasokan Meski Kontraksi Manufaktur Berlanjut

Sehat iKidangbang, JAKARTA — Meskipun tren produktivitas sektor manufaktur masih berada dalam tahap pengurangan, pembelianbahan bakualat bantu dan modal terus bertambah. Hal ini menunjukkan kesiapan para pelakuindustrimenghadapi tantangan bisnis hingga akhir tahun.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa impor bahan baku pendukung juga mengalami kenaikan sebesar 2,56% secara tahunan menjadi sebesar US$82,75 miliar, dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar US$80,69 miliar.

Tidak hanya itu, impor barang modal pada bulan Januari-Juni 2025 mencapai sebesar US$23 miliar atau meningkat tajam sebesar 20,90% (year-on-year/yoy) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya senilai US$19,03 miliar.

Para peneliti dari Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Ariyo DP Irhamna menyatakan bahwa kenaikan impor bahan baku dan alat modal pada saat indeks PMI manufaktur mengalami penurunan menunjukkan dua hal.

"Pertama, beberapa pelaku usaha melakukan pengimporan awal untuk memastikan persediaan di tengah ketidakpastian harga global dan nilai tukar rupiah," kata Ariyo kepadaBisnis, Selasa (12/8/2025). 

Artinya, meskipun Indeks Manajer Pembelian (PMI) sektor manufaktur Indonesia mengalami penurunan selama empat bulan berturut-turut, para pengusaha secara hati-hati tetap bersiap menghadapi ekspansi di tengah ketidakpastian global.

Selain itu, indeks kinerja manufaktur Indonesia berdasarkan laporan S&P Global turun ke angka 46,7 pada April 2025 dan masih berada di zona kontraksi, yaitu 49,2 pada Juli 2025.

Kedua, Ariyo mengamati sejumlah sektor tertentu, seperti otomotif, makanan dan minuman, serta elektronik tetap melakukan investasi karena melihat peluang ekspor setelah penurunan tarif, meskipun secara keseluruhan perkembangan industri belum merata.

"Artinya, pembelian alat kapital belum sepenuhnya mencerminkan optimisme yang luas, melainkan strategi pencegahan," katanya.

Ia juga memprediksi pemulihan Indeks Manajer Pembelian (PMI) manufaktur Indonesia baru akan terjadi pada kuartal pertama atau kuartal kedua tahun 2026.

Di sisi lain, industri makanan misalnya, tetap optimis meskipun tarif bea masuk ke Amerika Serikat telah diterapkan. Impor bahan baku terus meningkat, bukan hanya untuk meningkatkan kapasitas produksi, tetapi juga sebagai strategi negosiasi dengan AS agar menurunkan tarif balasan.

Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) menyatakan kesanggupan mengimpor biji gandum atau wheat grain dari Amerika Serikat (AS) untuk pabrik tepung di Indonesia yang akan berlangsung selama 5 tahun ke depan.

Komitmen impor biji gandum sebesar 1 juta ton setiap tahun dengan nilai mencapai US$250 juta hingga tahun 2030 disebut sebagai salah satu faktor yang memengaruhi perundingan tarif bea masuk ke Amerika Serikat yang diumumkan oleh Presiden Donald Trump, yang sebelumnya sebesar 32% kini diturunkan menjadi 19%.

Direktur Eksekutif Aptindo Ratna Sari Loppies menyampaikan bahwa pihaknya telah mengadakan perjanjian impor biji gandum Amerika Serikat dengan US Wheat Associates beberapa waktu yang lalu.

kami siap membantu pemerintah dalam negosiasi tarif, saat ini kami berkomitmen untuk pabrik kecil agar menggunakan gandum Amerika kamicommit1 juta ton setiap tahun pada periode 2025-2030," ujar Ratna kepadaBisnis, belum lama ini. 

Dalam laporan Aptindo, impor biji gandum atauwheat grainsebanyak 692.882 metrik ton dari Amerika Serikat pada tahun 2024. Tahun depan, pihaknya akan mengimpor gandum AS sebanyak 1 juta metrik ton per tahun selama lima tahun berikutnya.

Oleh karena itu, besarnya nilai transaksi pembelian biji gandum dari Amerika Serikat selama lima tahun ke depan bisa mencapai 1,25 miliar dolar AS atau setara dengan 20,2 triliun rupiah (kurs 16.216 rupiah per dolar AS).

Namun, di sisi lain, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI), Farhan Aqil Syauqi menyatakan bahwa hingga kini kondisi industri tekstil masih menghadapi tantangan dalam ekspansi dan belum ada perubahan nyata terkait produksi.

Sangat sulit saat ini untuk bersaing di dalam negeri. Kamihead to headdengan produk Tiongkok yang melakukan penjualan di bawah harga ataupredatory pricing,” kata Farhan kepada Bisnis, dihubungi terpisah.

Ia melihat bahwa pengeluaran masyarakat saat ini memang meningkat, tetapi lebih cenderung memilih barang-barang yang murah di pasar. Kondisi ini yang mengancam persaingan industri dalam negeri.

"Saat ini kami masih dalam proses menghabiskan stok yang ada. Pasar domestik saat ini sangat didominasi oleh produk bahan baku impor," ujarnya.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال